PENGUMUMAN (ACT OF GRUPMPI2021)
Mulai 1 Juni 2021
SEMUA PENGGUNA DISELURUH INDONESIA DAN DUNIA Akan melakukan Peraturan Mengenai meregulisasi Media MIMPI ke Media sosial untuk mematuhi undang-undang dalam kebijakan tersebut sampai 24 BULAN
seperti:
Menyensor konten Seksual, Menghapus Kata-kata tidak pantas, menghentikan konten berbahaya yang mengandung kebijakan keamanan Anak, menghapus konten Berklaim Hak Cipta, memusnahkan Konten Berita Bohong di Media RTMPI dan MIMPI, Konten RTMPI dan MIMPI di YouTube akan diatur mulai 31 Mei 2021 (Lihat Kebijakan Komunitas YouTube)
UU ITE akan diatur ke Media MIMPI:
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Peraturan Pelaksana[sunting | sunting sumber]
Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah:
- Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);
- Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);
- Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
- Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
- Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
- Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
- Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
- Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);
- Peran Pemerintah dalam Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);
Penyelenggaran Sistem Transaksi Elektronik[sunting | sunting sumber]
Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ('PP PSTE'). Peraturan Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan Menkumham menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan Naskah Akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan nonpelayanan publik, sanksi administratif, tanggungjawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Ronny, 2013)
Tata Cara Intersepsi[sunting | sunting sumber]
Poin nomor 8 tadinya sempat direncakan menjadi Peraturan Pemerintah tersendiri, akan tetapi koalisi masyarakat menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Mahkamah menyetujui serta mengharuskan Pasal ini dibuat Undang Undang tersendiri bukannya Peraturan Pemerintah karena intersepsi atau penyadapan membatasi sebagian hak asasi manusia yang menurut pasal 28J UUD 1945, harus berbentuk Undang Undang.
Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa RPP merupakan bentuk potensi intervensi Eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK, mengingat Pusat Intersepsi Nasional (PIN) dikelola dan dibentuk pemerintah, karena dibentuk dengan Keputusan Presiden.[3]
Catatan kritis ICW terhadap RPP tentang Penyadapan per 3 Desember 2009:
- Pasal 4 ayat (4) teknis operasional pelaksanaan intersepsi dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional.ersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional
- Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam Peraturan Menteri
- Pasal 11 ayat (2) Dewan Intersepsi Nasional bertanggungjawab pada Presiden (tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di Polisi, Jaksa dan KPK)
- Pasal 21 ayat (2) Sebelum PIN dibentuk, Menteri dapat membentuk tim audit independen
- Pasal 21 ayat (6) Jika PIN sudah terbentuk, intersepsi yg dilakukan penegak hukum harus melalui PIN
Presiden dan dan jajarannya di kabinet akan menjadi orang-orang yang sulit atau mustahil disadap jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) disahkan. Presiden berperan membentuk Pusat Intersepsi Nasional dan mengangkat Anggota Dewan Pengawas Intersepsi Nasional. Selain itu ada enam instansi lain yang juga akan sulit disadap karena punya peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Enam instansi itu yaitu, Menkominfo, Jaksa Agung, Ketua PN Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung, Anggota PIN, Kapolri, dan Dewan Intersepsi Nasional. Kesulitan ini dapat berupa keputusan berlarut-larut atau infonya bocor.[4]
Pasca pembatalan pasal tersebut oleh MK, per 2015 Kemkominfo memprosesnya untuk membuat RUU TCI (Undang Undang Tata Cara Intersepsi). Meskipun RUU TCI ini tidak masuk dalam daftar longlist Program Legislasi Nasional 2015–2019, namun tidak menutup kemungkinan akan masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Sehingga pilihan pertama usulan dimasukkan dalam prakarsa DPR dengan dititipkan dalam pembahasan RUU KUHAP inisiatif DPR. Alternatif kedua didasarkan pada usulan pemerintah yang dilatari pertimbangan kondisi tertentu serta harus mendapatkan izin prakarasa dari Presiden.[5]
Peran Pemerintah[sunting | sunting sumber]
Poin nomor 9 akan dijadikan Peraturan Pemerintah Peran Pemerintah dalam Pemanfaatan TIK. Akan tetapi, per 2016 PP ini tidak kunjung dibuat.
Perdagangan Elektronis[sunting | sunting sumber]
Terbaru, Pemerintah sedang menggodok dasar hukum untuk perdagangan elektronis atau e-Commerce. Meskipun bukan amanat UU ITE, tetapi ini merupakan amanat UU Perdagangan (pasal 66 ayat 4) dan mengacu kepada UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen[6]. Selain itu memang perkembangan e-Commerce yang tumbuh cepat membutuhkan dasar hukum dan melindungi konsumen, produsen dan para pemain e-Commerce. Pembuatan RPP tersebut diharmonisasi oleh kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Bank Indonesia serta Kementerian Perdagangan. Akan tetapi, meskipun naskah akademik RPP sudah beredar sejak tahun 2011[7], pengesahannya molor dan tidak ada perkembangan hingga terdengar kembali pasca boomingnya e-Commerce diawal tahun 2015 dimana Presiden dan Menteri sudah berganti. Menteri Kominfo Rudiantara menjanjikan Blueprint e-Commerce untuk meningkatkan pertumbuhan e-Commerce dan akan bersama Menteri Perdagangan untuk merumuskan aturan e-Commerce[8]
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi[sunting | sunting sumber]
Pencemaran Nama Baik[sunting | sunting sumber]
Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan online) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]
Penghinaan SARA[sunting | sunting sumber]
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi) yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan maksud menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini karena laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.[10]
Tata Cara Intersepsi[sunting | sunting sumber]
Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak bertentangan dengan UU[11], Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu, tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24 Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]
Bukti Elektronis[sunting | sunting sumber]
Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia 2015 membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang Undang KPK. “Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.[13] "Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai anggota DPR.[14]
(id.wikipedia.org) (Diambil tahun 2009)
Peraturan Konten RTMPI dan MIMPI ke YouTube Akan mulai dilaksanakan Mulai 1 Juni 2021:
|
Komentar
Posting Komentar